JAKARTA - Kenaikan harga kebutuhan pokok kembali menjadi perhatian publik menjelang akhir tahun.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi tahunan (year on year/YoY) sebesar 2,65% pada September 2025, meningkat dari 2,31% pada bulan sebelumnya. Angka tersebut menandai adanya tekanan harga yang semakin kuat di sektor pangan.
Sektor makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang terbesar dengan inflasi mencapai 5,01% YoY, dipicu oleh naiknya harga cabai merah, bawang merah, dan daging ayam ras. Kenaikan komoditas ini secara langsung dirasakan oleh masyarakat, terutama rumah tangga berpendapatan tetap yang paling sensitif terhadap fluktuasi harga bahan pokok.
Menurut Financial Analyst Finex, Brahmantya Himawan, kondisi ini menandakan bahwa masyarakat perlu lebih waspada terhadap perubahan dinamika ekonomi, terutama menjelang akhir tahun yang identik dengan peningkatan konsumsi.
“Inflasi pangan adalah sinyal langsung yang dirasakan masyarakat. Ketika harga bahan pokok naik, bukan hanya dapur yang terpengaruh tetapi juga kestabilan ekonomi rumah tangga,” ujar Brahmantya dalam keterangannya.
Kenaikan Harga Pangan Tekan Daya Beli
Brahmantya menjelaskan, inflasi tidak hanya berarti kenaikan harga, melainkan juga penurunan daya beli uang. Artinya, ketika harga-harga meningkat namun pendapatan masyarakat tetap, nilai riil dari uang yang dimiliki akan berkurang.
Ia menambahkan, bunga tabungan konvensional sering kali tidak mampu mengimbangi laju inflasi. Akibatnya, masyarakat yang menyimpan uang tanpa strategi keuangan yang tepat berpotensi kehilangan nilai kekayaan mereka secara perlahan.
“Dalam situasi seperti ini, masyarakat perlu mengenal berbagai instrumen investasi yang bisa berfungsi sebagai inflation hedge, yaitu strategi untuk melindungi nilai aset dari penurunan daya beli akibat inflasi,” jelasnya.
Investasi Sebagai Solusi Lindungi Nilai Uang
Brahmantya menyebut beberapa jenis investasi yang bisa menjadi alternatif bagi masyarakat. Di antaranya emas, reksadana, dan trading forex, yang masing-masing memiliki karakteristik dan tingkat risiko berbeda.
Menurutnya, emas dikenal stabil karena nilainya cenderung naik saat inflasi meningkat. Sementara reksadana menawarkan diversifikasi, dan trading forex memiliki keunggulan berupa fleksibilitas tinggi dalam merespons perubahan nilai tukar global.
“Kenaikan harga pangan memang mendorong pelemahan daya beli, tetapi bagi trader yang memahami pergerakan nilai mata uang, volatilitas justru bisa menjadi peluang,” kata Brahmantya.
Ia mencontohkan, ketika inflasi meningkat dan rupiah melemah terhadap dolar AS, pelaku pasar dapat memanfaatkan kondisi tersebut untuk melakukan strategi lindung nilai (hedging) agar kekayaan tidak tergerus inflasi.
Pentingnya Adaptasi Keuangan di Tengah Inflasi
Lebih lanjut, Brahmantya menekankan pentingnya adaptasi keuangan dalam menghadapi tekanan inflasi. Masyarakat diimbau untuk tidak hanya fokus pada pengeluaran, tetapi juga memperhatikan strategi perlindungan keuangan jangka panjang.
Ia membagikan tiga langkah penting yang dapat dilakukan masyarakat agar tetap bertahan di tengah kenaikan harga:
Pertama, mengubah pola konsumsi tanpa menurunkan kualitas hidup. Caranya dengan memanfaatkan produk lokal dan musiman yang harganya lebih stabil dibandingkan produk impor.
Kedua, membangun diversifikasi pendapatan dan menyiapkan dana proteksi. Dengan memiliki lebih dari satu sumber penghasilan, rumah tangga tidak akan terlalu bergantung pada satu sektor ekonomi yang mungkin terdampak inflasi.
Ketiga, memanfaatkan peluang di pasar keuangan global dengan analisis dan manajemen risiko yang baik. Menurut Brahmantya, hal ini bisa menjadi langkah cerdas bagi masyarakat modern yang ingin mempertahankan nilai asetnya dalam jangka panjang.
Pentingnya Literasi Finansial di Tengah Ketidakpastian Ekonomi
Selain itu, inflasi pangan yang meningkat juga menjadi pengingat akan pentingnya literasi finansial di masyarakat. Dengan memahami cara kerja inflasi dan dampaknya terhadap nilai uang, masyarakat dapat membuat keputusan keuangan yang lebih bijak.
Brahmantya menilai, pemerintah dan lembaga keuangan perlu memperkuat edukasi publik tentang pengelolaan keuangan pribadi, termasuk bagaimana memilih instrumen investasi sesuai dengan profil risiko dan tujuan finansial masing-masing individu.
Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan antara konsumsi dan investasi. “Kita tidak bisa sepenuhnya menghindari inflasi, tetapi kita bisa menyiapkan strategi agar efeknya tidak terlalu besar terhadap kesejahteraan rumah tangga,” ujarnya.
Harapan pada Stabilitas Harga dan Kesadaran Finansial
Peningkatan inflasi pangan memang menjadi tantangan bagi perekonomian nasional, terutama karena sektor ini berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat. Namun, dengan sinergi antara pemerintah, pelaku ekonomi, dan kesadaran masyarakat, dampaknya dapat diminimalkan.
Brahmantya menutup keterangannya dengan optimisme. Ia percaya bahwa masyarakat Indonesia semakin terbuka terhadap berbagai bentuk investasi dan semakin sadar pentingnya manajemen keuangan pribadi.
“Inflasi bisa menjadi ancaman bagi yang tidak siap, tapi juga menjadi peluang bagi yang memahami cara mengelola risiko,” pungkasnya.
Dengan pemahaman yang tepat, kenaikan harga pangan bukan lagi sekadar ancaman, melainkan momentum untuk membangun kemandirian finansial dan memperkuat ketahanan ekonomi rumah tangga di tengah tantangan global yang terus berubah.